Pengusahaan Air Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Jakarta -Lewat putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Undang-undang Sumber Daya Air No.7 Tahun 2004 (UU SDA) dikenal istilah "6 prinsip dasar" yang kemudian dijadikan patokan bagi lembaga-lembaga pemerintah dalam menyusun hukum transisi dan rancangan undang-undang pengganti.
Keenam prinsip tersebut secara singkatnya ialah pertama, bahwa "…pengusahaan air dihentikan mengganggu, mengesampingkan, apalagi meniadakan hak rakyat atas air…"; kedua, "…negara harus memenuhi hak rakyat atas air"; ketiga, "harus mengingat kelestarian lingkungan hidup…"; keempat, "…sebagai cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak…harus dikuasai oleh negara"; kelima, "…sebagai kelanjutan hak menguasai oleh negara…prioritas utama yang diberikan pengusahaan atas air ialah Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah"; dan keenam, "…apabila sesudah semua pembatasan tersebut di atas sudah terpenuhi dan ternyata masih ada ketersediaan air, pemerintah masih dimungkinkan untuk menawarkan izin kepada perjuangan swasta untuk melaksanakan pengusahaan atas air dengan syarat-syarat tertentu dan ketat."
Walaupun istilah 6 prinsip dasar ini populer, bahu-membahu masih terdapat beberapa ketidakjelasan atas prinsip-prinsip tersebut. Misalnya, pembatasan kelima soal BUMN/BUMD harus diprioritaskan berafiliasi bersahabat dengan prinsip keenam soal "swasta" yang masih bisa mengusahaakan air apabila (i) masih ada ketersediaan air, (ii) melalui syarat-syarat tertentu dan (iii) ketat.
Namun, yang paling penting ialah siapa yang dimaksud MK dengan swasta? Apakah semua pihak yang bukan pemerintah dan bukan perusahaan pemerintah dikategorikan sebagai swasta? Apakah koperasi, sebagai sokoguru perekonomian Indonesia dikategorikan sebagai swasta? Bagaimana dengan organisasi massa menyerupai Muhammadiyah? Bagaimana dengan ribuan kelompok penyedia air berbasis masyarakat yang menyediakan air di banyak sekali pelosok-pelosok terpencil Indonesia yang tidak bisa dimasuki oleh PDAM; apakah mereka juga "swasta", sehingga harus tunduk pada syarat-syarat tertentu dan ketat menyerupai layaknya korporasi?
Prinsip keempat bahwa BUMN/BUMD harus diprioritaskan secara teoretik masih menyimpan permasalahan lantaran BUMN/BUMD merupakan entitas terpisah dari negara yang mempunyai otonomi dan kekayaan tersendiri dimana pemerintah dihentikan sembarangan ikut campur dalam rumah tangganya.
Berbagai studi di dunia mengenai korporatisasi air justru memperlihatkan bahwa banyak sekali perusahaan negara yang berlaku menyerupai sektor privat: melaksanakan outsourcing, mem-PHK karyawan, tidak menyambungkan layanan ke tempat yang kurang menguntungkan, dan memutus sambungan orang yang tidak bisa membayar. Dengan demikian, belum ada jaminan bahu-membahu apabila air dikuasai BUMN/BUMD maka otomatis akan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Perlu dikaji lebih lanjut bentuk BUMN/BUMD yang tidak berorientasi pada laba dan fokus pada pelayanan.
Penguasaan negara juga perlu dibedakan konteksnya dalam hal air ledeng (perpipaan) dengan non-air ledeng. Dalam hal air ledeng, derajat penguasaan negara mutlak harus tinggi lantaran alasan monopoli alamiah. Air ledeng ialah monopoli lantaran dalam satu tempat hanya ada satu penjual air. Kondisi konsumen dalam industri ini lemah lantaran tidak punya pilihan kecuali membeli air tersebut berapapun harganya. Wajar apabila dalam konteks ini, negara memprioritaskan BUMN/BUMD.
Di luar air ledeng, konteks penguasaan negara bahu-membahu berbeda. Apakah mungkin apabila hanya BUMN/BUMD saja yang boleh mengusahakan air (di luar konteks air ledeng)? Hal ini mustahil lantaran hampir semua sektor industri kecuali jasa akan banyak memakai air. Bisnis basuh kendaraan, binatu, tekstil, perkebunan, air dalam kemasan, kedai kopi, rumah makan, peternakan dan sebagainya membutuhkan air. Kalau air hanya boleh dikuasai BUMN/BUMD, maka semua industri tersebut hanya boleh disediakan oleh BUMN/BUMD.
Oleh lantaran itu, konteks penguasaan negara dalam pengusahaan air di luar air ledeng bahu-membahu lebih terletak kepada prioritas alokasi air. Air untuk kebutuhan sehari-hari, baik yang diperoleh pribadi dari sumber alami maupun air baku untuk air minum seharusnya menerima prioritas tertinggi. Di bawah itu, barulah air untuk pertanian rakyat dan industri kecil, air untuk kebutuhan BUMN/BUMD selain air minum serta air untuk kebutuhan swasta.
Selain skala prioritas, yang harus dipikirkan dalam alokasi air ialah foootprint-nya. Satu semikonduktor berukuran 30 cm membutuhkan sekitar 8300 liter air. Sementara itu, untuk 1 kg daging sapi diharapkan 15415 liter, sedangkan untuk 1 liter air dalam kemasan diharapkan 1,39 liter air. Maka dari itu, tidak sempurna untuk sekedar memprioritaskan air kepada BUMN/BUMD, melainkan harus dievaluasi dulu jenis industrinya. Industri kecil dan industri rumah tangga, walaupun dikategorikan sebagai "swasta" seharusnya tetap diprioritaskan apabila footprint-nya tidak besar.
Terakhir, definisi "pengusahaan" dalam Rancangan Undang-undang Sumber Daya Air harus dikaji benar-benar. Aspek laba tidak cukup untuk mendefinisikan pengusahaan. Industri rumah tangga menyerupai jamu keliling atau warung kopi memang tidak sanggup dikategorikan untuk kebutuhan sehari-hari, namun seyogyanya jangan hingga dikenakan izin pengusahaan hanya semata-mata penjual mengambil keuntungan. Selain keuntungan, aspek lain yang harus dipertimbangkan dalam mendefinisikan pengusahaan ialah volume, jenis dan skala industri.
Mohamad Mova AlAfghani memperoleh PhD dalam Hukum Air dari Universitas Dundee, UK; penulis buku Legal Frameworks for Transparency in Water Utilities Regulation: A Comparative Perspective (Routledge, 2016)
Tulisan ini ialah kiriman dari pembaca detik, isi dari goresan pena di luar tanggung jawab redaksi. Ingin menciptakan goresan pena kau sendiri? Klik di sini sekarang!
Sumber detik.com