Merangkak Dalam Gejolak

Fundamen ekonomi Indonesia yang konon katanya ketika ini berpengaruh sepertinya tak cukup  Merangk Merangkak Dalam GejolakFoto: Istimewa

Jakarta -Fundamen ekonomi Indonesia yang konon katanya ketika ini berpengaruh sepertinya tak cukup sanggup menahan terjangan faktor eksternal yang masih dan terus berdampak pada pelemahan mata uang rupiah. Faktor-faktor eksternal itu antara lain: (1) kebijakan kenaikan suku bunga oleh Bank Sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve), (2) pengenaan tarif impor yang diterapkan AS, (3) rencana Bank Sentral Eropa (European Central Bank) mengurangi pembelian obligasi, (4) pemangkasan giro wajib minimun oleh Bank Sentral China (People's Bank of China), dan (5) harga minyak yang semakin tinggi.

Faktor-faktor itu mengakibatkan situasi ketidakpastian yang melahirkan berbagai argumen dan pengambilan arah kebijakan. Sebab, kiranya situasi ini telah bisa dipastikan tidak bersifat jangka pendek. Di tahun ini saja, The Fed diperhitungkan akan dua kali lagi menaikkan suku bunga pola menuju level 3 persen, di samping sasaran inflasi yang terjaga di level 2 persen. Sedangkan, pada 2019 Fed Fund Rate nantinya bakal naik tiga kali lagi. Lain lagi wacana rencana Bank Sentral Eropa yang akan menurunkan pembelian aset pada September tahun ini diperkirakan akan diikuti oleh kenaikan suku bunga pula pada tahun berikutnya.

Tak kalah berdampak bagi Indonesia yakni kebijakan ekonomi yang diambil China. Pelonggaran rasio cadangan bank pemerintah dan bank umum akan mengakibatkan renmimbi melemah. Akibatnya yakni pertumbuhan ekonomi China diperkirakan merosot menjadi 6,5 persen dari 6,8 persen. Perlu diingat bahwa China merupakan kawan dagang utama Indonesia. Tujuan ekspor komoditas Indonesia bergantung pada China. Bila perekonomian China melemah, maka hal ini akan cukup menampar kinerja ekspor Indonesia.

Lantas dari paparan kondisi global atau faktor eksternal di atas, bagaimana kondisi domestik kita dan bagaimana pula perilaku dalam menghadapinya?

Perekonomian Indonesia jikalau dipandang secara sepaling terbilang baik. Namun, jikalau kita menggali pembahasan lebih dalam, kita mulai membaca nada-nada kekhawatiran atas apa yang bakal melanda. Dapat kita lihat dalam kurun dua dekade terakhir --pasca krisis moneter-- ada dua titik jeblok pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pertama terjadi pada 2009, sebagai imbas dari krisis keuangan global 2008. Kedua pada 2014, sebagai imbas dari merosotnya harga komoditas di pasar global semenjak 2013.

Saat ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat sebesar 5,06 persen (kuartal I-2018). Angka ini tergolong cukup baik. Didorong oleh kinerja fiskal yang cukup baik pula. Namun, pada masa kini sisi moneter sepertinya memerlukan perhatian yang lebih khusus. Sebabnya dengan terang kita saksikan bahwa anjloknya nilai tukar rupiah tidak sanggup diberi stimulus hanya dengan kebijakan mengerek suku bunga oleh Bank Indonesia. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus tertekan semenjak 20 April 2018, meninggalkan Rp 13.770-an per dolar AS. Pada Selasa (3/7) nilai tukar rupiah terus melemah di angka Rp 14.418 dari Rp 14.331 sehari sebelumnya.

Terhitung sampai awal Juli 2018, Bank Indonesia sudah tiga kali menaikkan suku bunga pola (BI 7-day Repo Rate). Pertama pada 17 Mei sebesar 0,25 persen atau 25 basis poin (bps). Kedua pada 30 Mei juga sebesar 25 bps. Ketiga --bisa jadi ini bukan yang terakhir-- pada 30 Juni, kali ini BI menaikkan suku bunga pola sebesar 50 bps. Maka ketika ini BI 7-day Repo Rate bertengger pada level 5,25 persen.

Tentu kita mengerti bahwa langkah tersebut diambil untuk menahan gejolak keuangan dalam pasar domestik. Namun, penaikan suku bunga tentu juga berdampak pada pertumbuhan kredit dan perlambatan tingkat konsumsi. Mesti diingat, konsumsi mempunyai kekerabatan bersahabat dengan pertumbuhan ekonomi. Sektor konsumsi menyumbang porsi mayoritas (56 persen) terhadap pertumbuhan ekonomi. Nah, dengan imbas penaikan suku bunga pola ini, diperkirakan konsumsi bakal tumbuh di bawah 4,97 persen di tahun ini. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi juga mengendor di pusaran 5,0-5,1 persen, atau bahkan lebih rendah.

Meski demikian kebijakan kenaikan suku bunga mesti tetap "terpaksa diambil" sebagai upaya menahan laju arus modal keluar (capital outflow). Stabilitas ekonomi harus tetap dijaga, walaupun harus dibayar dengan kemungkinan pertumbuhan ekonomi yang rendah. Namun, yang merusingkan ialah, meski suku bunga telah dinaikkan sampai 100 bps, mata uang rupiah masih terus tersungkur di level Rp 14.400 per dolar AS!

Lantas, dengan kenyataan ini, apakah kita sanggup memberi klaim bahwa kebijakan BI ini tidak tepat, tidak kredibel, dan tidak prudent? Saya kira tidak.

Di sini kita mesti menyadari jikalau BI tidak menaikkan suku bunganya, apakah rupiah masih sanggup bertahan di level Rp 14.000-14.400? Barangkali saja jikalau BI "lenggang-kangkung" menahan suku bunga, sanggup jadi mata uang tercinta kita sudah terperosok sampai Rp 15.000 atau bahkan Rp 17.000.

Kini, suku bunga di level 5,25 persen. Tampaknya BI harus menahan diri untuk tidak mengereknya lagi. Strategi lainnya untuk merawat stabilitas ekonomi khususnya stabilitas nilai tukar yakni dengan menekan defisit transaksi berjalan.

Tercatat transaksi berjalan Indonesia telah mengalami defisit terus-menerus semenjak 2012. Defisit transaksi berjalan artinya dolar AS yang dihasilkan dari program perdagangan lebih kecil daripada dolar AS yang keluar. Secara kumulatif bagi negara yang mengalami defisit transaksi berjalan sanggup disebut sebagai negara yang lebih memerlukan dolar AS daripada menghasilkan dolar AS. Adapun cara untuk menutupi defisit transaksi berjalan, Indonesia membutuhkan transaksi finansial berupa pedoman modal dan investasi portofolio.

Terhitung pada kuartal I-2018 defisit transaksi berjalan Indonesia sebesar 5,542 miliar dolar AS (2,15 persen dari PDB). Sementara sebagai penutupnya, transaksi modal hanya sebesar 58 juta dolar AS dan transaksi finansial sebesar 1,814 miliar dolar AS. Maka tak pelak, neraca pembayaran Indonesia (NPI) akan mendera defisit 3,855 miliar dolar AS. Bila dibandingkan dua tahun sebelumnya, NPI hanya mendera defisit sebesar 287 juta dolar AS. Sungguh angka yang meroket sekali!

Parahnya, ketika ini defisit semakin tidak bisa tertutupi dengan kaburnya investasi portofolio dari Indonesia. Di kuartal I-2018 sebesar 1,174 miliar dolar AS investasi portofolio meninggalkan Indonesia. Sesuai ketentuannya, portofolio memang tidak sanggup "dipegang". Dalam kurun waktu relatif singkat dana-dana ini masuk ke sektor keuangan dan pasar saham, dan bisa pergi sekehendak pemilik dana. Di sinilah peran Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) tak sekadar mendorong pemasukan investasi, melainkan juga sanggup menahan modal supaya tak buru-buru keluar dari Indonesia.

Peluang Indonesia dalam upaya menggaet investor terbuka lebar. Peringkat akomodasi bisnis (Easy of Doing Bussiness) menaik di peringkat 72 (sebelumnya 91). Selain itu Global Competitiveness Index 2017-2018 menempatkan Indonesia pada urutan 36 (sebelumnya 41) dari 137 negara. Dengan demikian prospek investasi Indonesia tergolong cerah. Investasi yang terus digenjot bakal berdampak positif bagi perekonomian. Investasi eksklusif berdampak pada pembangunan, sementara investasi portofolio, dalam hal ini, guna menekan defisit transaksi berjalan.

Mengetatnya likuiditas global sampai menjelang simpulan tahun ini mesti terus dipantau oleh pemerintah Indonesia serta BI selaku pengambil kebijakan. Kita harus jeli melihat segala kemungkinan untuk meredam gejolak yang terus bergolak. Dalam situasi ini kita harus terus merangkak sampai kesannya sanggup melesat.

Muhammad Husein Heikal analis Economic Action (EconAct) Indonesia

Tulisan ini yakni kiriman dari pembaca detik, isi dari tulisan di luar tanggung jawab redaksi. Ingin menciptakan tulisan kau sendiri? Klik di sini sekarang!

Sumber detik.com
Sumber https://3i-networkspalangkaraya.blogspot.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel