Soal Freeport: Apa Yang Perlu Kita Cermati?
Jakarta -Sejak penandatanganan Head of Agreement (Kesepakatan Payung) antara Freeport MacMoRan (perusahaan induk PT Freeport Indonesia/FI) dengan PT Inalum dan wakil-wakil pemerintah Indonesia wacana pembelian saham kepemilikan PT FI hingga Indonesia mempunyai kepemilikan mayoritas (51%), aneka macam topik sudah disampaikan dalam aneka macam media yang isinya mempersoalkan proses dan isi dari janji tersebut.
Bagi saya, semua topik itu baik, alasannya bahwasanya yang diperlukan adalah semoga masyarakat Papua mampu didengar suaranya dan memperoleh manfaat yang layak dari bisnis raksasa ini. Apalagi yang menjadi objek perbincangan adalah suatu perusahaan besar yang sudah selama 51 tahun (1967-2018) panen raya dari sumber daya alam pertambangan Papua. Mudah-mudahan, sesuai dengan impian banyak orang, akan ada lembaga di mana aneka macam dimensi PT FI ke depan, dari perspektif Papua, mampu dibicarakan lebih mendalam.
Tulisan ini bertujuan untuk merangkum dan mengusulkan beberapa topik lain yang kiranya perlu diperhatikan dalam diskusi-diskusi yang akan dilakukan terkait dengan PT FI. Saya yakin masih tersedia ruang yang cukup untuk membicarakan hal-hal tersebut. Ada dua alasan. Pertama, yang ditandatangani barulah Kesepakatan Payung. Masih banyak rincian janji yang harus dirumuskan dan disepakati. Devil is in detail. Kedua, kontrak karya yang masih berlaku kini gres akan berakhir pada 2021. Masih ada waktu, walaupun sangat mepet, untuk menunjukkan gagasan-gagasan semoga dimasukkan ke rincian-rincian janji sebagaimana dimaksud di atas.
Pertama, hak-hak masyarakat aturan adat. Jelaslah yang harus didefinisikan terlebih dahulu siapa masyarakat aturan watak itu dalam konteks pengelolaan materi tambang di Mimika, dan apa saja hak-hak mereka. Selama ini kita biasa berbicara wacana masyarakat suku Amungme dan suku Kamoro. Tetapi semenjak beberapa tahun kemudian kita mengetahui bahwa masyarakat suku Moni juga mempunyai klaim yang legitimate atas cuilan tertentu dari wilayah operasi pertambangan PT FI. Mungkin masih ada masyarakat-masyarakat aturan watak yang lain, terutama jikalau dilihat dari dampak operasi penambangan ini di tempat perairan Selatan yang terus meluas.
Terkait dengan hal itu, dikala kita berbicara wacana hak-hak masyarakat, hal yang paling fundamental yang harus diangkat adalah hak hidup masyarakat di tempat pertambangan dan mereka yang terdampak oleh operasi pertambangan itu. Apakah nyawa mereka terancam? Apakah mereka mampu hidup dengan aman dan tenteram? Apakah mereka mampu hidup dengan layak? Apakah mereka mampu hidup dengan bahagia? Apakah kualitas hidup mereka membaik, atau justru lebih jelek dari sebelumnya? Dan, masih banyak pertanyaan yang lain.
Selain itu, sudah barang tentu hak-hak mereka sebagai pemilik sumber daya alam yang dipakai oleh PT FI harus dibicarakan. Mulai dari hak-hak atas gunung tambang hingga bawah tanah yang isinya diambil; cuilan dari pegunungan yang dipakai untuk menimbun batuan penutup; gunung kerikil kapur yang ditambang untuk dipakai menetralkan ajaran asam tambang; sungai Aijkwa dan Otomona yang dipakai untuk mengangkut tailing; dataran rendah yang dipakai untuk mendeposisi pasir sisa (tailings); muara dan pesisir pantai yang semakin dangkal oleh pasir sisa halus yang dialirkan dari dataran tinggi dalam jumlah belasan ribu ton setiap hari, dan sebagainya.
Mereka berhak untuk memperoleh kompensasi bahkan cuilan laba yang diperoleh oleh PT FI dan para pemegang saham lainnya, termasuk pemerintah Indonesia dan pemerintah tempat di Papua.
Kedua, optimalisasi manfaat dana 1%. Dana ini sudah sediakan oleh PT FI semenjak 1996, sebesar 1% dari pendapatan kotor perusahaan. Jumlahnya dari 1996 hingga 2017 sudah mencapai Rp 700 juta dolar AS, atau di atas Rp 10 triliun. Lepas dari fakta bahwa dana ini bermula dari kerusuhan Timika/Tembagapura pada 1996 (dikenal oleh para expatriates waktu itu dengan "Tembagapura Rock Festival" --karena kaca-kaca kantor pecah oleh lemparan batu), harus diakui bahwa tidak ada perusahaan tambang di dunia yang mengalokasikan dana dalam jumlah yang begitu besar setiap tahun untuk pembangunan sosial masyarakat, padahal dana tersebut bukanlah kewajiban aturan baginya, setidak-tidaknya pada tahun-tahun awal dana itu diluncurkan.
Saya kira tidak banyak di antara kita yang akan menyatakan bahwa alokasi dana 1% selama 20 tahun lebih ini sudah menunjukkan manfaat yang optimal bagi masyarakat, khususnya masyarakat 7 suku yang menjadi subjek pinjaman dana tersebut. Bahkan, tidaklah berlebihan apabila dana ini justru menjadi magnet yang luar biasa, yang mampu menarik secara pribadi maupun tidak pribadi banyak orang dari aneka macam tempat di pegunungan tengah maupun tempat-tempat lain di Papua. Akibatnya, banyak orang yang tiba ke Timika tidak memperoleh tempat tinggal yang layak. Mata pencaharian tidak tersedia bagi semua orang. Hidup tidak menjadi lebih mudah. Masalah sosial muncul dan meluas dengan cepat.
Sebagaimana di banyak tempat di dunia, keadaan ini lambat laun berkembang menjadi medan yang sangat aman untuk terjadinya konflik sosial. Sahabat karib saya, David Beanal (alm.) pernah menentukan untuk meninggalkan Tembagapura/Timika, tanah kelahirannya, dan pindah ke tanah Mamta, kampung istrinya, alasannya ia merasa lebih sejahtera tinggal di Jayapura-Depapre.
Ketiga, soal pengelolaan lingkungan. Ada dua hal yang ingin saya kemukakan alasannya akan terus berlangsung selama operasi tambang PT FI masih berlangsung, dan justru akan menyebabkan kasus setelah tambang ditutup apabila tidak ada perencanaan yang baik. Hal pertama adalah tailings/pasir sisa yang dideposisi/ditampung di dataran rendah. Siapa pun yang tiba ke Timika mampu dengan simpel melihat bahwa areal deposisi pasir sisa itu, yang luasnya kurang lebih 230 kilometer persegi sudah lebih tinggi beberapa meter dari kota Timika. Di atas "meja raksasa" itu mengalir sungai Aijkwa/Otomona. Ada tanggul di kedua sisinya semoga air sungai yang berisi pasir sisa itu tidak meluap ke Timika atau ke Taman Nasional Lorenz. Pertanyaannya, bagaimana mampu dipastikan bahwa tanggul-tanggul itu tidak akan pernah jebol? Bagaimana jikalau terjadi banjir besar? Apakah kota Timika dengan ratusan ribu penduduknya tidak sebaiknya dipindahkan ke lokasi lain yang aman?
Selain soal deposisi tailings, hal lain adalah ajaran batuan asam, yang dalam literatur pertambangan biasa disebut dengan acid rock drainage. Ini bahwasanya adalah hal alamiah yang terbentuk alasannya reaksi reduksi-oksidasi (redoks), adalah dikala batuan sulfida terpapar ke udara dan air. Persoalannya, yang terjadi di tempat penambangan PT FI bukanlah alamiah tetapi selesai perbuatan manusia, dan meliputi wilayah yang luas dan batuan yang sangat banyak. Aliran batuan asam tambang, selama PT FI ada, mampu dikontrol alasannya PT FI mencampurkan batuan kapur ke dalamnya. Akibatnya, pH ajaran tailings ke dataran rendah cenderung netral, bahkan ke arah basa.
Persoalannya, siapa yang akan bertanggung jawab mengelola ajaran asam itu dikala pertambangan ini tutup, entah alasannya materi tambangnya habis atau alasannya alasan lain? Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) sudah memperingatkan pemerintah dan masyarakat wacana ancaman ini di awal tahun 2000-an. Banyak laporan yang menunjukkan bahwa ajaran batuan asam, yang berbahaya dan hampir tidak ada kehidupan di dalamnya itu, mampu terus ada selama 200 tahun semenjak suatu tambang ditutup. Untuk kasus PT FI, siapa yang harus bertanggung jawab ke depan setelah perusahaan ini tutup?
Soal keempat adalah peluang bisnis bagi OAP. Dahulu, di tahun 1990-an PT FI pernah melaksanakan jadwal Inkubator Bisnis. Tujuannya melatih sejumlah pengusaha orisinil Papua semoga mampu ikut serta memasok kebutuhan-kebutuhan PT FI. Ada yang memasok kantong-kantong untuk sampel batuan, ada yang memasok palet kayu. Yang lain dibina membuka warung untuk karyawan PT FI yang akan berangkat cuti di airport Timika, dan lain-lain. Entah, apakah para pengusaha itu masih ada kini atau tidak. Entah, ada berapa pengusaha OAP yang kini menjadi kontraktor PT FI.
Yang jelas, peluang itu bahwasanya terbuka lebar. Mari kita bicara soal bisnis katering. Konon ada 22.000 karyawan dan pihak lain yang harus diberi makan tiga kali setiap hari. Sebut saja biaya setiap kali makan adalah Rp 100.000. Itu berarti pengusaha yang memasok kuliner untuk karyawan dan non-karyawan itu dibayar sebesar Rp 6,6 miliar setiap hari, atau kurang lebih Rp 2,409 triliun rupiah setiap tahun. Hanya dari memasok kuliner saja! Teman saya menawarkan bahwa bisnis kuliner itu mampu untung paling sedikit 50 persen.
Jadi, orang yang punya perjuangan katering di PT FI itu mampu meraup laba sebesar paling tidak Rp 1,2 triliu setiap tahun, atau sedikitnya Rp 100 miliar setiap bulan! Siapa orang itu? Dia brewokan, punya media, dan punya partai. Pertanyaannya, apa yang sudah ia kerjakan untuk membantu menyejahterakan petani orisinil Papua dengan cara membeli hasil-hasil bumi masyarakat. Sedikit-dikitnya itu yang harus ia buat: membeli hasil bumi masyarakat, untuk kemudian diolah menjadi kuliner bagi karyawan dan non-karyawan PT FI.
Ke depan seharusnya keadaan mampu menjadi lebih baik. Sudah ada jalan dari Wamena-Kenyam-Sawa Erma di Kabupaten Asmat. Dari Sawa Erma ke Agats mampu dilayari dengan kapal. Dari Agats ke Timika ada kapal PELNI setiap minggu. Mudah-mudahan pace brewok bersedia juga bersedia berbagi, bukan hanya PT FI yang menyediakan 1% laba kotornya setiap tahun selama lebih dari 20 tahun ini.
Kelima, soal rekrumen OAP untuk bekerja di PT FI. Aspek ini selalu menjadi sorotan, bahkan prasyarat dalam setiap kali studi AMDAL, bukan hanya untuk PT FI, tetapi untuk perusahaan-perusahaan lain juga. Namun, seringkali bukan hanya jumlah yang menjadi persoalan, tetapi juga posisi. Di pertambangan-pertambangan PNG: Ok-Tedi (Tembaga dan Emas), Porgera (Emas dan Perak), Lihir (Emas dan Perak), Ramu (Nikel dan Tembaga), Hidden Valley (Emas dan Perak), Tolukuma (Emas), Simberi (Emas) dan Sinivit (Emas) hampir semua jabatan kunci dipegang oleh orang-orang orisinil PNG.
Bagaimana di PT FI? Ini yang penting: Kepala Tekniknya adalah OAP. Di dalam bisnis pertambangan, jabatan kunci adalah Kepala Teknik yang kini dijabat oleh Hengky Rumbino lulusan ITB. Kepala Teknik inilah yang berurusan dengan pemerintah untuk urusan-urusan teknis tambang, dan bertanggung jawab supaya perjuangan pertambangan dilakukan secara benar sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Selain Hengky, ada sekitar 10 jabatan Vice President yang diduduki oleh OAP. Pertanyaannya, apakah PT FI sudah secara sengaja mempunyai jadwal jangka panjang untuk mencetak lebih banyak lagi orang-orang cerdas mirip Hengky Rumbino untuk memimpin perusahaan ke depan?
Keenam, soal dampak pengganda. Kita berharap bahwa ke depan perusahaan mirip PT FI tidak hanya menunjukkan manfaat bagi Timika tetapi juga ke banyak tempat di Papua. Kalau tidak, Timika akan menjadi semakin penuh dari hari ke hari, dan persoalan-persoalan sosial yang ditimbulkannya tidak akan pernah selesai.
Kita ambil contoh Biak. OAP dari suku Biak-lah yang pertama kali bekerja dalam jumlah relatif banyak di PT FI pada tahun 1960-an. Mengapa? Sederhana saja: perusahaan perekrut karyawan, PT Buma Kumawa, berkedudukan di Biak waktu itu. Tetapi, mari kita kritis bertanya: apa dampak dari banyaknya masyarakat Biak yang bekerja di PT FI semenjak tahun 1960-an terhadap pertumbuhan perekonomian Kabupaten Biak Numfor? Hampir tidak kelihatan. Kenapa? Karena honor yang diperoleh tidak dibelanjakan di Biak.
Sudah semenjak usang saya menyarankan kepada pihak Bank Papua untuk menyiapkan konsep kepada administrasi PT FI semoga honor para karyawan Papua disalurkan melalui Bank Papua. Dengan begitu, Bank Papua mampu menyiapkan paket-paket kredit, contohnya kredit pembangunan rumah atau usaha, sehingga para karyawan itu mampu membangun rumah, bahkan membuka perjuangan di kampung mereka masing-masing. Dengan demikian manfaat bekerja di PT FI tidak hanya dinikmati oleh karyawan itu, tetapi juga oleh masyarakat di kampungnya.
Dalam skala yang lebih besar, dampak pengganda dari kehadiran PT FI mampu diperoleh dari pembangunan smelter/industri peleburan logam di luar Timika, tetapi tetap di Tanah Papua. Tempat yang paling menguntungkan untuk keperluan itu adalah Kokas atau Karas di Kabupaten Fakfak. Jaraknya erat dengan Timika (bandingkan dengan Gresik yang letaknya jauh dan karenanya lebih mahal untuk mengangkat konsentrat), pelabuhannya dalam, dan ini yang penting: energinya tersedia dari gas bumi di Babo. Kalau konsep ini dilakukan, maka kita akan mempunyai lagi satu industri strategis di Tanah Papua. Dengan begitu, tersedia lapangan kerja gres bagi banyak OAP, bahkan bisnis- bisnis baru.
Soal ketujuh, manfaat fiskal bagi pemerintah daerah. Terkait dengan kepemilikan saham Indonesia sebesar 51%, konon Papua akan menerima/memiliki 10%. Soal 10% ini pun masih harus diperjelas: apakah 10% dalam arti pemerintah pusat akan mendapatkan 41%? Atau, 10% dari 51%, yang berarti bahwa pemerintah tempat di Provinsi Papua hanya mendapatkan 5,1% saja? Selain itu, dikala pemerintah tempat di Papua akan mendapatkan 10%, apakah saham itu alokasi itu diterima gratis, ataukah pemerintah tempat di Papua harus membeli 10% saham tersebut?
Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah apakah dengan mempunyai 10% saham itu maka pemerintah tempat mempunyai ekspektasi bahwa akan selalu ada alokasi laba setiap tahun? Atau, mereka juga sadar bahwa akan ada dikala di mana laba tidak akan diperoleh alasannya dipakai untuk membiayai operasi perjuangan di tahun-tahun yang sulit?
Masih banyak soal yang harus dibentuk hitam-putih, supaya segalanya terperinci dari awal, termasuk di dalamnya berapa besar laba yang dialokasikan bagi masyarakat aturan adat. Terkait dengan hal itu, perlu diperjelas apakah masyarakat aturan watak ini hanya terbatas pada suku Amungme, Kamoro, dan suku-suku lain yang terdampak oleh operasi PT FI, atau termasuk pula suku-suku lain di Tanah Papua? Bagaimana kira-kira jawaban para pemegang saham 51% ini apabila ada orang-orang dari suku tertentu di Kepala Burung Papua yang juga meminta perhatian, alasannya merekalah yang menjadi pemikul barang dan mengantar para peneliti tambang hingga ke Ertsberg di tahun 1930-an? Perjalanan inilah yang menyebabkan ditemukannya gunung bijih, yang kemudian menghadirkan Freeport pada 1967 di bumi Amungsa dan Kamoro hingga kini ini.
Hal yang dilarang dilupakan adalah taktik mirip apa yang akan dipakai oleh pemerintah tempat dikala mereka mulai mendapatkan dana selesai kepemilikan saham di PT FI sehingga menunjukkan manfaat jangka panjang, khususnya bagi pengembangan SDM Amungme, Kamoro, dan masyarakat orisinil Papua lainnya. Di atas telah dijelaskan bahwa total dana pembangunan masyarakat yang berasal dari 1% pendapatan kotor PT FI semenjak 1996 diperkirakan berjumlah lebih dari Rp 10 triliun. Sebut saja Rp 1 triliun dari dana itu disimpan sebagai Dana Abadi, maka akan ada dana sebesar paling sedikit Rp 80 miliar setiap tahun --sampai selama-lamanya-- untuk membiayai aneka macam terobosan pembangunan SDM Papua. Bayangkan berapa banyak andal OAP dalam semua disiplin ilmu yang mampu dihasilkan setiap tahun. Jadi, ke depan jadwal Dana Abadi haruslah dibentuk dari kepemilikan saham 10% itu.
Jangan pernah lupa, suatu waktu SDA pertambangan itu akan habis. Tidak saja kita perlu cerdas untuk menciptakan manfaat yang diterima itu tersedia selama mungkin, contohnya melalui penerapan konsep Dana Abadi mirip yang diuraikan di atas. Selain itu, kita juga harus bertanya: apakah semua tambang itu harus dihabiskan sekarang? Apakah tingkat produksi harus sebesar itu, atau sebaiknya dikurangi, alasannya anak-cucu OAP di masa mendatang pun mempunyai hak yang sama untuk mengelola tambang itu? Saya teringat pesan yang tersirat dari seorang intelektual Papua Ir. Frans A. Wospakrik, M.Sc (alm.), mantan Rektor Uncen dan Wakil Ketua MRP, bahwa "...Bahan tambang itu bukan mirip pisang. Pisang itu jikalau sudah ranum di pohon dan tidak kita konsumsi akan menjadi busuk. Bahan tambang akan tetap ada di bumi kita, hingga kita menggali dan mengolahnya. Berhematlah dalam memakai sumber daya alam kita, termasuk sumber daya pertambangan."
Terakhir, yang kedelapan, bagaimana industri PT FI harus diamankan ke depan. Pengamanan yang sebaik-baiknya adalah yang dilakukan oleh masyarakat. Hal itu sudah dibuktikan di Babo. BP Tangguh selama hampir 20 tahun hanya memakai pendekatan community based security, pengamanan berbasis masyarakat. PT FI juga harus mampu melaksanakan hal yang sama, apalagi sahamnya akan dimiliki 51 persen oleh pemerintah (termasuk pemerintah tempat di Papua). Tidak perlu berlebihan menjaga dan mengamankan objek vital negara. Kalau kekerabatan perusahaan dengan masyarakat sekitar baik, maka pastilah objek itu akan dijaga oleh masyarakat itu sendiri.
Agus Sumule dosen Universitas Papua
Tulisan ini adalah kiriman dari pembaca detik, isi dari gesekan pena di luar tanggung jawab redaksi. Ingin menciptakan gesekan pena kau sendiri? Klik di sini sekarang!
Sumber detik.com Sumber https://3i-networkspalangkaraya.blogspot.com