Mengubah Legislatif Kita

Jakarta -
3i Networks Memasuki pengujung 2018, trias politica di Indonesia, yang terdiri dari forum eksekutif, legislatif, dan yudikatif masih belum berjalan baik. Dari ketiganya, cuma direktur yang mampu menghadirkan perubahan. Di beberapa kabupaten, kota, provinsi, bahkan nasional, direktur kita cenderung mendengar publik. Contohnya, Abdullah Azwar Anas di Banyuwangi, Ridwan Kamil di Bandung, Tri Rismaharini di Surabaya, dan Joko Widodo (Jokowi) di tingkat nasional.
3i Networks Tiga nama yang disebut pertama di atas membuktikan, rakyat memberi kepercayaan ke level berikutnya. Untuk Jokowi, meski belum terpilih lagi, tapi dicalonkan kedua kalinya, jadi bukti kerjanya direspons baik oleh publik. Eksekutif kita relatif tersorot positif. Publik pribadi menilai; memberi reward dengan menentukan kembali atau punishment dengan menentukan calon lain. Ini kelebihan demokrasi. Publik pribadi menilai, memilih, dan memberi sanksi.
3i Networks Lalu, mengapa tidak terjadi pada legislatif dan yudikatif kita? Dalam teori sistem politik dikenal istilah blackbox. Sarjana politik mahfum dengan sistem politik yang terdiri dari tiga tahapan: masukan, proses, keluaran. Dalam tahapan proses inilah terdapat blackbox --publik tidak mengetahui proses yang ada di dalam, hanya mampu melihat masukan dan keluaran. Publik seringkali tergoda jargon janji yang tak ditepati
3i Networks Pertanyaannya, orang-orang yang dipilih di legislatif apakah memenuhi standar pembuat kebijakan yang ideal? Relatif tidak. Di tingkat nasional, meski tidak mampu dibaca keseluruhan, kerja sebagian besar anggota badan legislatif dan DPRD disorot negatif. Prolegnas dan Prolegda tak sesuai sasaran tiap tahun. Banyak di antara anggota yang terlibat kasus korupsi. Hasil kebijakan tidak sesuai kebutuhan publik, dan malah menciptakan peraturan untuk kepentingan sendiri.
Mensterilkan Legislatif
Baca Juga
3i Networks Bak cawan penuh lumpur, legislatif kita harus dibersihkan. Paradoks utama membenahi partai politik demi terciptanya calon legislatif tentu tidak salah. Tapi, membebankan semua kepada parpol, di masa politik biaya tinggi juga tak melulu benar. Parpol sudah menghadirkan pilihan untuk terpilih, harus dipilih pemilih. Bagian terakhir ini, yang seharusnya jadi peluang publik memainkan politiknya. Mencari yang sedikit mungkin mudaratnya. Publik yang harus reaktif --kasarnya, berangasan mencari pilihannya.
3i Networks Saat daftar pemilih tetap (DPT) dan daftar caleg tetap (DCT) sudah final, ruang pemilihan terbagi pada parpol, calon, dan pemilih. Membuang lumpur dari cawan membutuhkan kesediaan pemilih untuk mampu menentukan caleg yang mempunyai tiga modal awal. Pertama, caleg harus punya bekal, terutama visi dan misi yang jelas, dan punya platform apa yang mau dikerjakan. Kedua, caleg harus bebas korupsi, terbukti dari latar belakang dan akuntabilitas keuangannya. Ketiga, caleg harus independen di tengah ruang parpol dan kepentingan.
3i Networks Bagian paling khusus, caleg harus mampu mencegah timbulnya korupsi politik. Mengutip Peter Larmour (2011), timbulnya korupsi politik dibagi menjadi tiga persoalan. Yakni, hadir dari penyalahgunaan kekuasaan, peminggiran kekuasaan rakyat, serta adanya perselingkuhan negara dan bisnis. Jika anggota legislatif yang kemudian telah melaksanakan ini, memilihnya sama saja mengotori cawan kembali. Publik mesti teliti, melihat rekam jejak para calonnya sedini mungkin.
3i Networks Kasus Kota Malang, di mana walikota, beberapa kepala dinas, hingga 41 anggota DPRD digaruk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena korupsi berjamaah kasus APBD-P jadi pelajaran penting. Publik mesti melihat, jikalau ada di antara mereka, bahkan yang terindikasi, mencalonkan kembali, harus ditolak. Publik harus peduli pada standar mewujudkan legislatif kita higienis dari proses awal.
3i Networks Mengapa penting mensterilkan legislatif? Ruang demokrasi kita menghadirkan kumpulan orang-orang yang mempunyai wewenang untuk mengawasi, mengontrol, dan menciptakan anggaran suatu pemerintahan di tingkat lokal atau nasional. Aturan main ini sudah disepakati, maka jalani dengan cakap. Mereka, anggota legislatif, khususnya tingkat DPR, diberi kekuasaan juga menentukan calon-calon di yudikatif. Jadi, jikalau kita asal menentukan caleg, maka tak heran hasil yudikatifnya lemah.
3i Networks Terkini, sudah eranya ikut membangun bangsa dan negara tidak harus melalui jalur politik praktis. Kita harus melek politik. Lewat menyeleksi pilihan dan memilihnya, tentu berdasarkan kebutuhan, ialah prosedur apik membangun kesadaran berbangsa dan bernegara. Meminimalisasi pilihan kepada orang yang dianggap kompeten dan berintegritas lebih baik dibandingkan berdiam diri menerima pilihan tanpa memilih. Sebab, berdiam diri membuka peluang cawan kembali berlumpur.
Momentum Milenial
3i Networks Pada 2018 jumlah penduduk Indonesia sudah mencapai 265 juta jiwa. Dari jumlah itu 90 jutanya berdasarkan data Bappenas ialah kaum milenial yang berkisar di rentang usia 20-34 tahun. Daftar pemilih tetap (DPT) untuk Pemilu 2019 berdasarkan data KPU sebesar 196,5 juta jiwa. Artinya, 50% lebih, kaum milenial di Indonesia mampu menentukan arah legislatif di kabupaten, kota, bahkan tingkat nasional.
3i Networks Respons kaum milenial sangat penting dalam mencegah yang jelek masuk, dan membantu yang baik untuk bekerja. Pelaksanaan Asian Games 2018 mungkin jadi tolok ukur bahwa Indonesia mampu menciptakan dunia terkesima, lewat berbagai kolaborasi antaratlet, pelaksana, panitia, penonton, juga kritikus. Semua larut dan suka cita atas keberhasilan itu. Semangat bersama itu yang harus masuk dalam level politik kebangsaan kita.
3i Networks Tentu, bagi sebagian kaum milenial, pilihan masuk jalur politik mudah bukan passion. Tapi, bukan itu poinnya. Kaum milenial tidak dituntut masuk parpol, namun harus gotong royong berpartisipasi dalam ruang lingkup politik kebangsaan. Membantu yang terbaik masuk ke gelanggang politik. Partisipasi kemudian menjadi penting. Apa artinya partai menyeleksi orang-orang terbaik, namun tidak dipilih, karena alergi terhadap politik?
3i Networks Untuk kaum milenial, alergi terhadap politik korup jadi keharusan dan penting. Tapi, menafikan politik kebangsaan bukan pilihan terbaik. Biar bagaimana pun, demokrasi sudah mengisyaratkan parpol untuk menentukan wakil publik di beberapa posisi politik. Karenanya, bagi milenial yang antiparpol, harus diingat bahwa menyelamatkan parpol juga harus gotong royong aktif dan berpartisipasi. Politik milenial tidak harus ikut berbasah-basah, tapi membantu orang lain dengan saran, kritik, dan yang terpenting dukungan.
3i Networks Masa kampanye Pemilu 2018, yang akan dimulai 23 September nanti, jadi ajang bagi kaum milenial untuk ikut aktif melihat, menganalisis, menyeleksi, dan menentukan pilihannya. Kaum milenial tentu lebih mahfum bagaimana caranya melihat orang lain lewat berbagai media sosial. Maka, menjadi aktif ialah potongan dari proses menciptakan legislatif di tingkat mana pun menjadi lebih baik. Karena menjadi apatis, kemudian kritis, bukan balasan menyelamatkan bangsa.
Sumber detik.com
Sumber https://3i-networkspalangkaraya.blogspot.com