Mengurai Problem Penutupan Gerai Ritel

Mengurai Persoalan Penutupan Gerai RitelFoto: Dok

Jakarta -Fenomena wacana tutupnya sejumlah gerai dari ritel ternama di Indonesia, khususnya Jakarta, ibarat Lotus, 7-Eleven, Matahari Department Store, Debenhams dan terakhir MAP terus mengagetkan publik. Tutupnya sejumlah gerai-gerai dari merek tersebut menimbulkan pertanyaan-pertanyaan wacana penyebab dari "gugurnya" gerai-gerai merek ternama itu.

Beberapa pendapat mengemuka wacana dilema dari penutupan gerai-gerai tersebut. Sebagian kalangan menyebutkan bahwa gerai-gerai tersebut tutup akhir melemahnya daya beli di masyarakat, khususnya di kalangan menengah ke bawah. Alasan ini seakan diperkuat oleh pengumuman data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pekan lalu. BPS mencatat konsumsi rumah tangga pada triwulan III-2017 tumbuh 4,93 persen, sedikit lebih rendah dibanding triwulan sebelumnya (4,95 persen) dan kurun yang sama tahun kemudian (5,01 persen).

Data perlambatan konsumsi tersebut mengambarkan daya beli lapisan 40% ke bawah tertekan. Di sisi lain, BPS juga mencatat adanya penetrasi belanja daring yang tak sanggup terlihat secara menyeluruh. Walau tercatat masih relatif kecil (sekitar 0,3%), namun pertumbuhan daring terus meningkat.

Sementara itu, pendapat lain terkait tutupnya gerai ritel, sebagian kalangan melihat bahwa penyebabnya ialah berkembang pesatnya ritel daring. Sejumlah kalangan pengusaha mengaku bahwa ketika ini pengusaha ritel sedang melaksanakan adaptasi model usaha. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi transaksi daring yang makin marak, persaingan hypermarket dan mini market yang sangat dinamis, serta tren berbelanja generasi milenial juga telah beralih dari department store, dan menentukan untuk berbelanja di gerai specialty store.

Perkembangan ritel daring, perubahan tumpuan konsumsi masyarakat, dan juga tren belanja juga turut mempengaruhi gerai fisik di negara-negara lain. Sejumlah perusahaan ritel papan atas di Amerika Serikat, ibarat Toys R Us, Macy's, Sears, serta ritel Inggris Marks & Spencer juga telah merampingkan gerainya. Lalu di Malaysia, ada lima supermarket Giant juga tutup.

Menyikapi tren ritel daring ini, para pengusaha ritel fisik juga tetap mempunyai ruang gerak yang "terbatas" terkait dengan sejumlah regulasi perjuangan ritel fisik, sehingga harga barang yang mereka jual relatif lebih tinggi dibandingkan dengan harga jual toko daring. Aturan tersebut, mulai dari prosedur pajak, batasan yang harus dipenuhi sesuai Standar Nasional Indonesia untuk barang dan akta dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk makanan.

Selain alasan-alasan yang telah dipaparkan di atas, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Ari Kuncoro juga menilai, masyarakat ketika ini khususnya kelas menengah atas sedang mengalami perubahan perilaku, biasanya menghabiskan uang untuk belanja, namun kini menentukan menabung. Padahal gotong royong mereka punya uang yang sanggup saja digunakan untuk belanja.

Berbagai alasan dari tutupnya sejumlah gerai ritel merupakan hal-hal yang mesti dianalisis bersama dan dicari solusinya oleh sejumlah pihak, mulai dari pemerintah, pengusaha ritel fisik, pengusaha ritel daring, dan DPR. Hal mana yang juga perlu diperhatikan ialah gerai-gerai ritel menampung karyawan yang tidak sedikit. Penutupan gerai 7-Eleven di Indonesia saja telah mengakibatkan sekitar 1.300 pekerjanya terkena pemutusan kekerabatan kerja (PHK).

Setidaknya ada lima hal yang perlu diperhatikan dalam mencari solusi dari fenomena penutupan gerai ritel ini. Pertama, pemerintah mesti mencari cara untuk mendorong daya beli di masyarakat. Untuk kalangan masyarakat menengah ke bawah, perlu ada stimulus untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, sehingga mereka juga sanggup mempunyai daya belanja yang terus meningkat. Di sisi lain, perlu adan upaya untuk meningkatkan upah buruh sektor riil yang terus turun dan nilai tukar petani (NTP).

Kedua, untuk meningkatkan daya beli kalangan kelas menengah ke atas, pengusaha ritel fisik juga sanggup melihat perubahan tumpuan konsumsi masyarakat, termasuk pengembangan specialty store.

Ketiga, pengusaha ritel fisik juga sanggup mulai merambah bisnisnya juga ke ritel daring. Perkembangan teknologi digital yang kian pesat perlu diikuti. Ritel daring Amazon di Amerika Serikat dan Alibaba di Tiongkok kini menjadi raksasa-raksasa bisnis dunia, yang sanggup menjadi salah satu citra bahwa ritel daring kini merupakan bisnis yang sangat diperhitungkan.

Keempat, pemerintah dan/atau dewan perwakilan rakyat perlu mulai memikirkan adanya regulasi yang mengatur perkembangan bisnis digital, khususnya ritel daring. Regulasi sektoral yang mengacu pada perkembangan bisnis digital mulai ada di sektor transportasi. Kementerian Perhubungan telah mempunyai regulasi berupa Peraturan Pengganti Peraturan Menteri No.26/2017 wacana Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam trayek yang menjadi payung aturan angkutan taksi daring.

Kelima, pemerintah sanggup mendorong pebisnis ritel daring untuk "merangkul" dan ikut serta dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi kecil dan menengah. Ritel daring juga sanggup menjadi salah satu sumber pemasukan pemerintah daerah, melalui pertumbuhan wirausaha-wirausaha di tempat memanfaatkan ritel daring.

Fenomena penutupan gerail ritel fisik berpotensi terus bertambah ke depan. Oleh karenanya, solusi perlu segera diterapkan.

Ridho Marpaung VP Operations PT Sigi Kaca Pariwara (Riset Iklan TV Adstensity)


Tulisan ini ialah kiriman dari pembaca detik, isi dari goresan pena di luar tanggung jawab redaksi. Ingin menciptakan goresan pena kau sendiri? Klik di sini sekarang!

Sumber detik.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel