Awas, Krisis Di As Peringatan Bagi Indonesia

Awas, Krisis di AS Peringatan Bagi Indonesia

Den Haag -Akhir pekan kemudian senat Amerika Serikat balasannya menemui kata sepakat untuk menaikkan pagu utang yang diusulkan oleh Obama. Hal ini sekaligus mengakhiri tiga pekan penutupan (sebagian) kantor-kantor pemerintahan di AS. Namun keadaan normal ini hanya berlangsung sementara. Karena deal penambahan utang hanya cukup untuk membiayai pemerintahan hingga 15 Januari tahun depan.

Walaupun sesungguhnya penutupan sebagian kantor-kantor pemerintah AS ini bukan untuk pertama kalinya (terakhir kali terjadi tahun 1996), tetap saja hal ini menarik perhatian. Bagaimana mungkin negara adi daya mengalami hal menyerupai ini?

Baca Juga

Yang nampak di permukaan, insiden ini yaitu krisis pengambilan keputusan atau sekedar dinamika politik. Republikan menimbulkan ketidaksetujuan atas rencana anggaran yang diajukan untuk menaikan posisi tawar mereka dalam menjegal tawaran reformasi jaminan kesehatan (Obamacare). Selain itu sistem pengambilan keputusan di level atas pemerintahan AS memungkinkan kebuntuan menyerupai ini terjadi. Berbeda dengan di Indonesia di mana ketika rencana anggaran yang diajukan presiden ditolak DPR, maka secara otomatis pemerintah memakai APBN tahun sebelumnya.

Namun jikalau melihat lebih dalam, insiden ini bukan sekedar dinamika di Washington DC saja, melainkan juga menjadi cermin keadaan ekonomi AS yang belum pulih dari krisis. Jika perekonomian AS sehat dan pemerintah mempunyai cukup uang, tentu Obama tidak perlu mengusulkan pertambahan utang. Oleh lantaran itu, saya lebih tertarik untuk melihat permasalahan ekonomi AS yang merupakan akar penyebabnya.

Data World Economic Outlook Database yang dirilis oleh IMF menunjukkan utang bruto pemerintah AS bertambah dari rata-rata 62 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) antara tahun 2000-2007 (sebelum krisis) menjadi 92 persen di tahun 2008-2011 dan terus menanjak hingga kini mencapai 108 persen. Jika digabung dengan utang sektor rumah tangga, forum keuangan, dan sektor swasta non-keuangan maka total utang AS hampir mencapai 350 persen dari PDB.

Selain itu kesenjangan ekonomi di AS juga makin memburuk. Nobelis ekonomi Joseph E. Stiglitz membahasnya dalam buku The Price of Inequality. Stiglitz memaparkan data rasio penghasilan rata-rata karyawan dibanding 500 CEO perusahaan besar di AS. Tahun 1980 rasionya yaitu 1:42, tahun 2007 kesenjangannya meningkat menjadi 1:344. Adapun data dari Kongres AS membuktikan bahwa satu persen orang terkaya menguasai 21 persen dari total penghasilan penduduk Amerika, meningkat dari asalnya 10 persen di tahun 1979. Sedangkan persentase penghasilan kelas menengah tergerus dari 48 persen di tahun 1979 menjadi 38 persen di tahun 2007.

Thomas Palley, ekonom dari forum think tank New American Foundation, dalam buku berjudul From Financial Crisis to Stagnation menyebut krisis ekonomi AS dengan The Destruction of Shared Prosperity atau “rusaknya kemakmuran bersama”. Palley mengajukan thesis bahwa akar krisis ialah paradigma neoliberal makroekonomi AS yang mulai dianut secara ketat di kurun presiden Ronald Reagan.

Kebijakan neolib di AS meliputi empat kerangka kebijakan. Pertama, small government di mana keterlibatan pemerintah dalam acara ekonomi diminimalisasi dan pelayanan publik diserahkan kepada pasar. Kedua, membuat pasar tenaga kerja yang fleksibel. Ketiga, lebih memprioritaskan untuk menjaga inflasi tetap rendah daripada membuat lapangan kerja. Terakhir, pemberian untuk globalisasi dan perdagangan bebas.

Palley menjelaskan bahwa ada dua kekeliruan fatal yang terjadi akhir paradigma neolib tersebut. Pertama yaitu pasar bebas dan globalisasi yang dipelopori AS justru menjadi bumerang dan mengakibatkan “trio pendarahan ekonomi” yaitu defisit perdagangan, keluarnya investasi (di sektor riil) dari AS, dan kehilangan industri manufaktur.

Kedua yaitu model pertumbuhan ekonomi yang mengandalkan utang dan penggelembungan nilai asset (properti) yang balasannya pecah di tahun 2008 dan menjadi penyebab eksklusif krisis ekonomi global.

Kombinasi pendarahan ekonomi diperparah dengan stagnansi upah buruh yang tidak mengalami pertumbuhan riil semenjak tahun 1980. Hal ini mengakibatkan melemahnya seruan konsumen secara keseluruhan (aggregate demand). Permasalahan pendarahan ekonomi, stagnansi upah buruh, dan melemahnya seruan menjadi bulat setan bagi AS.

Namun sesungguhnya hingga tahun 2008 ekonomi AS terlihat baik di permukaan. Hal ini ditunjukan oleh laju inflasi yang rendah dan pertumbuhan ekonomi yang stabil. Faktanya justru berbeda dengan bulat setan yang dijelaskan di atas. Lalu dari mana sumber pertumbuhan AS selama dua dekade sebelum krisis? Palley menjelaskan bahwa utang dan penggelembungan nilai assetlah yang menjaga performasi ekonomi AS sebelum krisis. Palley menyebutnya dengan “finansialisasi” yaitu spekulasi di pasar uang dan praktek shadow banking yang nyaris tanpa regulasi. Saat gelembung itu meletus maka pemerintahlah yang turun tangan untuk mem-bail out. Ini yaitu salah satu lantaran mengapa utang pemerintah AS melonjak begitu besar.

Selain itu untuk menyelamatkan AS dari stagnansi, The Fed terus menurunkan tingkat suku bunga bahkan hingga nol persen. Namun kredit murah dengan bunga sangat rendah ini lebih banyak dipakai untuk aksi-aksi spekulasi di pasar uang, bukan investasi produktif. Kasus kredit murah perumahan (subprime mortgage) menggambarkan hal ini. Begitu pula dengan utang kartu kredit. Konsumsi rumah tangga banyak didanai oleh utang sehingga untuk sementara ekonomi AS terselamatkan.

Sementara upah buruh mengalami stagnansi, para investor, CEO, fund manager dan mereka yang berada di satu persen penghasilan teratas terus menikmati keadaan. Kekayaan mereka kondusif dari gerogotan inflasi. Keuntungan perjuangan makin besar lantaran pabrik-pabrik dipindahkan ke negara berkembang dengan upah buruh rendah. Aksi spekulasi di pasar uang juga menghasilkan laba besar. Inilah klarifikasi mengapa kesenjangan memburuk dengan cepat dalam dua dekade terakhir.

Kondisi sosial AS tercermin dengan apik dalam film The Company Men (2010) yang dibintangi Ben Affleck dan Kevin Costner. Dalam film tersebut dikisahkan seorang pekerja di Wall Street yang di-PHK lantaran krisis kemudian jatuh miskin lantaran cicilan utangnya yang menumpuk. Di final film digambarkan bagaimana ia memulai lagi bisnis manufaktur dari nol. Kegiatan ekonomi riil ini selama dua dekade terakhir ditinggalkan orang-orang Amerika yang lebih suka menumpuk kekayaan dengan acara di pasar uang.

Krisis ekonomi yang menimpa AS sanggup dijadikan cermin bagi Indonesia. Dari parameter-parameter di atas, sejauh ini ada dua lampu kuning bagi kita. Pertama ialah kesenjangan ekonomi yang terus memburuk dan ditunjukan oleh koefisien gini yang dalam tiga tahun terakhir sudah bertenger di atas 0.4, padahal di awal tahun 2000-an masih berada di bawah 0.3. Kedua ialah defisit perdagangan di mana mulai tahun kemudian jumlah impor kita melebihi ekspor.

Oleh lantaran itu dalam melihat role model kebijakan ekonomi, kita harus berpikiran terbuka sekaligus kritis ketika merumuskan apa yang terbaik untuk kita sendiri. Dalam konteks ini perkataan pemimpin Tiongkok Deng Xiaoping, “tak peduli warna kucingnya hitam atau putih, asal sanggup menangkap tikus” layak untuk diingat. Jangan hingga kita jatuh dalam lubang yang sama dengan AS. Walaupun barangkali jikalau penutupan kantor pemerintahan terjadi di Indonesia, hal tersebut sanggup dinamai secara lebih halus dengan menyebutnya “cuti bersama”.

Keterangn penulis:<\ strong="">
Penulis yaitu pelajar Indonesia di Delft University of Technology, Belanda, dapat dijumpai di akun twitter @rihandaulah.<\ em="">




Tulisan ini yaitu kiriman dari pembaca detik, isi dari goresan pena di luar tanggung jawab redaksi. Ingin membuat goresan pena kau sendiri? Klik di sini sekarang!

Sumber detik.com

Artikel Terkait

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel