Hedonic Treadmill: Terlihat Keren Tapi Gotong Royong Kere (2)

Foto: Rachman HaryantoFoto: Rachman Haryanto

Jakarta - Biasanya ketika penghasilan seseorang masih sedikit, seseorang akan lebih gampang membedakan secara rinci antara 'bisikan keinginan' atau 'realita kebutuhan'. Contohnya bila kita lapar, maka kita secara alamiah akan mencari masakan untuk menghilangkan rasa lapar meskipun hanya nasi bungkus seharga dua ribu rupiah.

Inilah maksud dari 'realita kebutuhan'. Namun ketika lapar, dan seseorang merasa hanya akan kenyang kalau makan di restoran level berbintang, maka inilah yang dimaksud dengan 'bisikan keinginan'.

Seseorang yang rasional meski berpenghasilan rendah, ia akan berusaha keras untuk membelanjakan uangnya pada hal hal yang lebih prioritas atau lebih kepada realita kebutuhan. Namun di ketika kemampuan finansialnya meningkat, kecenderungan untuk membedakan antara impian dengan kebutuhan secara perlahan mulai menipis.

Keputusannya untuk berbelanja tidak lagi hanya berkaitan dengan kebutuhan, namun juga akan dikaitkan dengan simbol simbol dalam rangka menandai perasaan atau status sosialnya. Apabila hal ini sudah terjadi, biasanya kemampuan seseoang untuk menghentikan kebiasaan belanja mengikuti impian akan semakin sulit.

Dalam sebuah riset yang dilakukan oleh Daniel Kahneman, pakar Financial Psychology dari Amerika yang juga pernah mendapatkan Hadiah Nobel bidang Ekonomi. Ia menelusuri hubungan antara Uang dengan Kebahagiaan.

Hasil risetnya menemukan fakta perihal income threshold. Income threshold ini yaitu sebuah batas yang memilih secara terukur perihal seberapa besar uang besar lengan berkuasa terhadap kebahagiaan seseorang. Ini berarti, sebelum penghasilan seseorang mencapai threshold/batas tersebut, maka indeks kebahagiaan seseorang akan terus meningkat.

Lalu berapa batas dari income threshold tersebut?

Dari ribuan responden yang dijadikan obyek penelitian, Daniel Kahneman mendapatkan data bahwa penghasilan US$ 6.000 (Rp 80 jutaan untuk US$ 1 = Rp 14.000) yaitu batasan yang dimaksud.

Riset ini menawarkan bahwa orang yang punya penghasilan Rp 5 juta per bulan, akan lebih senang dibandingkan yang berpenghasilan Rp 2 juta per bulan. Namun menurut riset ini pula, mereka yang berpenghasilan 500 juta sebulan atau bahkan Rp 10 Miliar sebulan pun tidak lebih senang dibandingkan yang punya penghasilan Rp 80 juta sebulan.

Sehingga hasil studi Kahneman tersebut sanggup saya simpulkan bahwa semakin tinggi penghasilan seseorang, akan semakin besar lengan berkuasa untuk menurunkan peranan uang dalam menambah indeks kebahagiaan seseorang.

Nah lho, makin kaya kok malah nggak nambah senang itu bagaimana ini?

Ternyata sang Pakar Financial Psychology itu mendapatkan jawabannya, yaitu adanya benang merah yang sangat kuat antara sikap penggunaan uang dengan kebahagiaan orang. Dan yang dimaksud oleh sang pakar ini yaitu penyakit yang berjulukan Hedonic Treadmill.

Saya mahfum serta sanggup memahami bahwa motivasi seseorang untuk bisa semakin senang melalui peningkatan kemampuan keuangan yaitu hal yang positif. Motivasi ini akan memacu adrenalin seseorang untuk meningkatkan produktivitas kerjanya dalam meraih harta.

Maka kekhawatiran akan penyakit yang berjulukan Hedonic Treadmill ini tidak berarti bahwa kita dihentikan menjadi kaya dan bekerja lebih keras biar mendapatkan kesuksesan yang lebih baik. Tentu sama sekali bukan menyerupai itu pengertiannya. Hanya penekanannya, kalau semua pencapaian sukses itu self-oriented, maka hal itu hanya akan membawakan kebahagiaan yang semu dan sementara.

Dan yang menjadi persoalan pada konsep yang disebut Hedonic Treadmill ini bahu-membahu yaitu pada alokasi anggaran yang berserakan dan tingkat keserakahan seseorang. Lantas bagaimana caranya biar bisa menjauh dari hidup yang serba keren(hedonis) yang pada karenanya justru bikin kehidupan jadi berantakan?

Menurut saya ada dua hal, yakni dengan kebiasaan menyebarkan dan berbelanja sesuai prioritas. Dua prinsip ini akan menjadi 'fondasi' yang sangat kuat untuk menahan gempuran keinginan, baik yang berasal dari luar menyerupai rayuan iklan maupun dari dalam yaitu berupa bisikan yang melenakan.

Bagaimana memulainya? Praktis saja, membiasakan diri untuk menyebarkan dengan mereka yang membutuhkan yaitu cara yang paling keren biar sifat serakah di dalam diri kita sanggup terus dikikis.

Penting untuk dicatat, lantaran sifat serakah itu punya donasi besar menimbulkan seseorang senang berbelanja (gila belanja) pada hal hal yang bahu-membahu tidak perlu. Dengan terkikisnya sifat serakah inilah yang akan menciptakan hidup seseorang menjadi lebih erat kepada kesederhanaan.

Dan sikap sederhana inilah yang kelak akan menjaga seseorang walaupun mempunyai harta berlimpah, namun tetap tidak terpengaruhi untuk berlebihan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Solusi berikutnya yaitu dengan menciptakan daftar belanja secara proporsional biar tidak boros namun juga tidak kikir. Caranya yaitu dengan menciptakan daftar prioritas pembelanjaan/pengeluaran.

Diawali dari prioritas yang paling utama yakni untuk diberikan kepada yang menjadi tanggungannya, kebutuhan dana darurat, dukungan penghasilan, dana investasi untuk planning prioritas di masa depan, sampai pembagian pos harta waris sedekah, hibah dan wakaf.


Pembagian pos-pos ini bisa anda pelajari di workshop perencanaan keuangan dan investasi yang dilaksanakan oleh tim IARFC Indonesia atau tim AAM & Associates.

Di Jakarta dibuka workshop sehari perihal bagaimana cara Mengelola Gaji dan Mengatur Uang bulanan dan Belajar dan Teknik Menjadi Kaya Raya dan juga workshop sehari perihal Reksadana. Ada juga workshop khusus perihal Asuransi membahas Keuntungan dan Kerugian dari Unitlink yang sudah anda beli.

Karena banyak permintaan, dibuka lagi workshop Komunikasi yang memukau lawan bicara anda (menghipnotis), cocok untuk anda orang sales & marketing, untuk komunikasi ke pasangan, anak, boss, anak buah, ke siapapun, info.

Untuk ilmu yang lebih lengkap lagi, anda bisa berguru perihal perencanaan keuangan komplit, bahkan bisa jadi konsultannya dengan sertifikat Internasional bisa ikutan workshop Basic Financial Planning dan workshop Intermediate dan Advance Financial Planning di Pertengahan Info lainnya bisa dilihat di www.IARFCIndonesia.com (jangan lupa tanyakan DISKON paket)

Anda bisa diskusi tanya jawab dengan cara bergabung di akun telegram group kami "Seputar Keuangan" atau klik di sini.

Bagaimana caranya? Belajarlah ilmu perencanaan keuangan untuk langsung atau keluarga, alasannya dalam ilmu perencanaan keuangan keluarga, akan kita temukan cara biar pada ketika semakin meningkat kekayaan seseorang, ia bersama kekayaannya tersebut tetap sanggup memberi tugas makin signifikan terhadap indeks kebahagiaannya.

So, apakah Anda sudah mulai termasuk terkena efek sindrom Hedonic Treadmill yang bikin penampilan kelihatan bertambah keren padahal hati malah makin merana?

Be carefull my brother & sister, segera pelajari ilmunya.


Disclaimer: artikel ini merupakan kiriman dari kawan yang bekerja sama dengan detikcom. Redaksi detikcom tidak bertanggung jawab atas isi artikel yang dikirim oleh mitra. Tanggung jawab sepenuhnya ada di penulis artikel.

Sumber detik.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel