Membenahi Keperawatan Indonesia: Sistem Dan Sdm
Foto: Syaifoel Hardy
Jakarta -Di USA (Amerika Serikat) dan Inggris pun, yang usia profesi mereka 200 tahun lebih bau tanah di atas kita, pembenahan terus berlangsung. Di India, yang tahun 1948 sudah bangun Nursing Council padahal mereka merdeka tahun 1947, masih ada lubang di sana-sini.Jadi, jangan berharap profesi kita ini, yang belum seumur jagung, sempurna, sementara UUK saja gres satu tahun diresmikan, dan Nursing Council belum ada 'kabar resmi' kapan taksiran persalinannya. Ada dua potensi besar yang sudah kita miliki ketika ini: sistem dan sumber daya insan (SDM).
Sistem yaitu rangkaian elemen yang bergabung antara satu dan lainnya, saling bekerja sama, kait mengkait, guna mencapai suatu tujuan. Sedangkan SDM yaitu manusia, profesionalnya, yang mendesain, merencanakan, mengkoordinasi, melaksanakan, mengorganisasi sampai mengevaluasi seluruh proses kerja sistemnya.
Yang paling hangat yaitu UU Keperawatan, STR, sertifikasi, pendidikan serta akreditasi. Prestasi ini yang kita share kan dengan kolega kita di negara-negara baik di level ASEAN, Asia sampai internasional.
Keberadaan sistem profesi kita ini butuh pengakuan masyarakat internasional. Mau tidak mau, Indonesia, sebagai negara terbesar keempat di dunia dalam artian populasi, akan menjadi sorotan, bila tidak mempunyai sistem sebagaimana negara-negara maju lainnya. Bila tidak sejalan dengan mereka, kita dianggap tertinggal.
Satu pekerjaan rumah (PR) yang menjadi ganjalan terberat yaitu belum dimilikinya Nursing Council. Lembaga independen ini yang paling kuat dalam laju profesi ini. Sementara ini, fungsinya masih tersendat, dirangkap oleh MTKI.
Keberadaan MTKI atau MTKP untuk level provinsi, sebagai payung semua organisasi profesi (kecuali Kedokteran) dirasakan sangat diskriminatif dan tidak efektif.
Diskriminatif alasannya hanya profesi Kedokteran yang 'diizinkan' mempunyai Council, sementara profesi kesehatan lainnya dianggap mandul. Tidak efektif, alasannya sangat dirasakan outcome nya oleh profesi keperawatan kita dalam perolehan STR yang mengganjal prosesnya oleh MTKI.
Setiap hari, sedikitnya 10 orang di FB Indonesian Nursing Trainers yang mengeluh wacana tidak lancarnya proses pengurusan STR. Ini suatu bukti, bahwa MTKI memikul beban terlalu berat.
Alangkah lebih ringan dan efisiennya bila STR ini dilimpahkan kepada Nursing Council. Itu pandangan oleh profesi kita. Pemerintah, ironisnya, punya sudut pandang yang berbeda. Ini tidak lepas dari banyak sekali kepentingan dan politis.
Dampak dari gangguan sistem ini sangat besar. STR menyangkut kesejahteraan profesionalnya. Hanya alasannya selembar surat sakti ini, ribuan perawat boleh jadi tidak bekerja sesuai profesinya. Hanya alasannya surat yang diterbitkan oleh lembaga yang tidak lebih tinggi ketimbang Menteri Kesehatan ini, orang jadi susah hidupnya.
Hanya alasannya surat yang nilai sejatinya tidak lebih tinggi dari Ijazah, masa depan sarjana bisa terombang-ambing, terlunta-lunta. Hanya alasannya STR, orang tidak yakin dengan masa depannya. STR, bisa bikin karyawan goyah karirnya, alasannya bahaya PHK. Karena STR, perawat tidak bisa bekerja di luar negeri. Dan masih banyak lagi.
Di mana-mana kampus promosi akreditasi, globalisasi serta kemampuan bersaing, di dalam serta luar negeri. Sementara perolehan pekerjaan nyatanya susah. Padahal, tujuan simpulan yang paling ideal dari pendidikan yaitu sanggup kerja.
Meski tujuan pendidikan sendiri secara formal tidak menyantumkan mendapat pekerjaan. Tujuan pendidikan yaitu memaksimalkan tumbuh kembang demi peningkatan kualitas manusia. Namun, apa artinya kualitas insan bila tidak didukung oleh kesejahteraan mereka setelah menempuh pendidikan?
Dari level bawah, Ukom dilaksanakan di tingkat kampus. Di level ini, ada perbedaan, S1 Ukomnya computer based, sedangkan D3 tidak. Ini tidak bisa disepelekan. Setelah dinyatakan lulus, belum ada ketentuan kapan STR berada di tangan pemiliknya. Belum lagi pemenuhan persyaratan yang harus dikirim dari tempat ke pusat.
Jika ada kesalahan penulisan nama, tanggal lahir, dan lainnya, berapa usang prosesnya? Beberapa teman-teman mengeluh ejaan namanya salah dalam STR. Biayanya, ada yang bayar Rp 100 ribu, ada yang setor Rp 250 ribu.
Ada yang merasa cepat, lancar, ada yang tidak tentu rimbanya alasannya mereka dari Papua sana. Inilah beberapa kelemahan terbesar sistem kita.
Sistem yang baik, nyatanya belum tentu benar. Sistem yang tidak didukung oleh administrasi yang tertata, menjadikan unit-unit dalam sistem tersebut jadi rusak. Sama menyerupai radang pada Larynx yang bisa merambat ke Alveoli jikalau tidak terobati.
Sementara wacana Sumber Daya Manusia (SDM), perkembangannya cukup menggembirakan 10 tahun terakhir ini. Kualitas SDM profesi ini didukung oleh kompetensi yang menyangkut pendidikan, pelatihan, serta pengalaman kerjanya.
SDM kita banyak yang ditelorkan oleh lembaga-lembaga pendidikan terakreditasi A, baik dalam maupun luar negeri, dari Australia, Amerika, Eropa serta Asia. Beberapa universitas di negeri kita sudah menyelenggarakan agenda S2. Universitas Indonesia sudah menyelenggarakan S3.
Ini menunjukan bahwa kualitas nursing profesional Indonesia sejajar kedudukannya dengan rekan-rekan dari luar negeri. Meski dalam artian kuantitas belum terlalu memuaskan. Kita masih butuh banyak tenaga dosen S2. Penyebaran mereka belum merata. Sebagian besar S2 nursing masih disedot oleh kampus.
Pemenuhan SDM ini kuat besar terhadap kelancaran pencapaian tujuan yang ada dalam sistem. Kriteria minimal pendidikan seorang dosen, menjadikan jumlah mahasiswa dan dosen tidak imbang. Ketidak-seimbangan ini akan mensugesti outcome. Kampus negeri tidak sama dengan swasta. Bimbingan mahasiswa jadi belang bonteng.
Barangkali inilah salah satu pokomasalah terbesar, mengapa, misalnya, hasil Ukom tingkat nasional hanya dipatok 40%. Apalagi di daerah, provinsi di luar Pulau Jawa. Di Sulawesi, ada yang hanya 3 orang lulus di antara 40 mahasiswa.
Padahal di Blitar-Jatim, bisa mencapai 100% lulus. Dosen-dosen muda yang lulus S2 lebih menentukan tinggal di Jawa yaitu kenyataan yang tidak sanggup ditolak.
Ini masih belum dihitung infrastruturnya. Fasilitas laboratorium pendukung serta kurikulum. Walaupun, ini bisa diakali oleh SDM yang berkualitas. Memaksimalkan fungsi internet dan media ketika ini bisa dijadikan sarana lain pengganti laboratorim canggih pada kasus-kasus tertentu. Demikian pula kurikulum yang bisa jadi 'fleksibel' di tangan dosen yang pinter.
Keberadaan organisasi profesi pula tidak kalah tugas pentingnya. Organisasi ini menjadi jembatan komunikasi profesional, khususnya yang sudah bekerja, terkait pengembangan profesi dan atau informal studies nya.
Pendeknya, tanpa Nursing Council, masalah profesi makin rumit. Terlepas dari dua faktor di atas, antara sistem dan SDM, mana bekerjsama yang lebih lebih banyak didominasi perlu mendapat perhatian dalam perbaikan kondisi profesi keperawatan di Indonesia ketika ini?
Meski sistem sudah baik dan tertata, kalau SDM nya parah, semua bisa jadi bubrah. Sekalipun sistemnya mudah, jikalau SDM kurang tepat, akan menjadi susah. SDM tipe ini yaitu SDM yang 'gemar' menciptakan orang bahagia jadi gelisah.
Sebaliknya, bila SDM baik, meski sistem amburadul, niscaya masih bisa jalan, alasannya berangkat dari niat baik. SDM yang baik, akan gampang untuk dikelola, diajak kerjasamanya, guna mencapai tujuan betapapun rumit.
The man behind the gun, lebih penting ketimbang sistem. Di tangan SDM yang baik, sistem yang ribet, bisa dibentuk simple. Di dalam genggaman SDM yang amanah, sistem yang susah, bisa dibikin mudah.
Berbagai masalah yang dihadapi oleh profesi ini, mulai dari sulitnya mencari kerja, rendahnya motivasi, kurang pandainya menjemput peluang, fresh graduate yang pasif, kualitas lulusan yang rendah, sampai hiruk-pikuk STR, sejatinya bermula dari satu muara.
Sepertinya, kita butuh satu mata kuliah lagi guna menangani biar redupnya SDM profesi kita ini menjadi lebih bercahaya. Kemuliaan dan nama baik profesi ini tidak bergantung kepada tingginya level pendidikan penyandangnya. Akan tetapi, abjad dan tabiatnya.
Menjamurnya profesional di tingkat atas yang diikuti dengan banjirnya pengangguran serta rendahnya kualitas layanan keperawatan, tidak ubahnya 'pembodohan publik'.
Bangsa besar ini mengharapkan peningkatan pendidikan keperawatan yang diikuti dengan terdongkraknya kualitas performa penyandangnya. Dari sana, perawat akan terangkat reputasinya. Meski honor nampak rendah di hadapan pejabat, namun lebih bermartabat di mata masyarakat.
Syaifoel Hardy
saderun@gmail.com
081259414970
Sumber detik.com